YUK KENALAN DENGAN PARIWISATA MINAT KHUSUS (SPECIAL INTEREST TOURISM)

Special Interest Tourism atau dalam bahaasa Indonesia umum diukenal sebagai pariwisata minat khusus merupakan jenis pariwisata dimana wisatawan melaksanakan perjalanan untuk belajar dan berupaya mendapat pengalaman tentang sesuatu hal di daerah yang dikunjungi.

Tipologi dari wisata jenis ini tidak biasa, anti mainstream atau bahkan aneh. Wisata minat khusus sangat berhubungan dengan hobi seseorang, komunitas atau didasari rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Sesuai dengan namanya, orang-orang yang melakukan wisata minat khusus biasanya berkeinginan untuk mewujudkan minat dan ketertarikannya terhadap suatu objek atau hal yang lain. Oleh karena itu, umumnya wisata ini hanya diikuti oleh satu, dua atau sekelompok kecil pelancong.

Wisata minat khusus biasanya membutuhkan biaya yang relatif lebih mahal dari wisata yang biasa saja. Membutuhkan biaya yang mahal karena harus mengunjungi suatu negara yang jauh atau daerah terpencil dan tidak membutuhkan banyak biaya karena hanya menyusuri hutan seperti berburu atau memancing.

Ada beberapa prinsip yang mendasari wisata minat khusus diantaranya;

  1. Motivasi untuk mencari sesuatu yang baru (anti mainstream).
  2. Kepuasan dalam melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain.
  3. Mencari pengalaman baru.

Selain prinsip bentuk-bentuk wisata minat khusus didasari bebrapa tujuan;

  1. Rewarding, penghargaan terhadap objek yang dikunjungi.
  2. Enriching, pengkayaan diri, dapat juga dalam rangka bisnis.
  3. Adventure, minat bertualang yang tinggi.
  4. Learning, keinginan untuk mempelajari hal yang baru.

Nah, perkembangan pariwisata minat khusus juga sejalan dengan perkembangan gaya hidup manusia sehingga muncul istilah-istilah baru seperti culinary tourism, halal tourism, dark tourism, tolkien tourism (mengunjungi lokasi film Lord of The Rings), drug tourism, getto tourism dan masih banyak lagi. Beberapa website seperti www.travelbyinterest.com  secara khusus memberikan paket-paket menarik yang secara ekslusif ditujukan kepada gay travellers, food lovers, luxury travelers dan wisatawan yang memang khusus ingin mencari relaksasi & rejuvenation melalui wellness tourism, seperti yang tampak pada gambar di bawah ini.

TRAVEL BY INTEREST

www.travelbyinterest.com

Selain itu adanya semakin tingginya jumlah Millenials yang bepergian membuat website seperti www.citizenM.com membuat komonitasnya sendiri dimana bagi mereka yang tertarik untuk bergabung log-in sebagai seorang “citizen”. Konsep dari citizen M tidak hanya menjual kamar namum memberikan kesempatan millenials untuk bergabung dalam komunitas tertentu melalui meeting room dengan konsep sharing.  Work station, wifi yang super kencang, 24 hours food & beverage serta harga yang sangat terjangkau menjadikan citizen M menjadi begitu populer di kalangan millenials traveller yang ingin melakukan perjalanan sekaligus mendapatkan peluang-2 bisnis baru.

TRAVEL BY INTEREST .png

www.citizenM.com

Saat ini di Asia baru Taipe yang bergabung di CitizenM, namun tentu tidak menutup kemungkinan saat ceruk pasar ini mulai accesible maka hotel-hotel di Indonesia Singapore dan Malaysia pasti akan mengambil pasar ini.

What do you think will be the next trend?

Apa itu Virtual Reality (VR) ?

Setelah Ista lahir 29 Januari lalu, akhirnya saya punya kesempatan lagi untuk posting (maklum sibuk ngurus bayi dan kegiatan mamak2 lainnya, hahaha :D). Nah kali ini saya akan coba membahas VR ( Virtual Reality ) yang semester lalu menjadi top request mahasiswa saya di kelas marketing. VR saat ini sedang booming dan mungkin beberapa tahun lagi akan menjadi tren untuk digital marketing.

VR atau Virtual Reality, dalam bahasa indonesia seringkali disebut Realitas Maya adalah sebuah teknologi yang membuat pengguna untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan yang ada dalam dunia maya melalui perangkat VR. Saat kita mempergunakan perangkat tersebut (misalnya VR glasses), kita merasa berada di dalam lingkungan tersebut.

Image result for virtual reality

VR kemudian menjadi sangat populer dengan perkembangan platform games dan film-film yang khusus diproduksi untuk mengajak penonton seara langsung berada di dunia maya tersebut. Contoh dari VR banyak sekali, seperti Game, misal Game COC (Clash of Clans ). Melalui VR kita akan merasa bahwa anda sendiri yang menjadi karakternya. Jika biasanya menggunakan layar, dengan VR, kita bisa langsung menikmati game langsung didepan mata kita sendiri, singkatnya seperti masuk kedalam game. Contoh yang lain yaitu photoshpere, yaitu foto 360 derajat dimana kita akan merasa seolah-olah berada langsung di tempat dimana foto tersebut diambil. Mirip seperti google street view tapi seperi kita ada disana secara langsung.

Yang juga tidak kalah populernya adalah dalam industri perfilman dimana pemakai VR misalnya dapat dengan langsung menikmati film Conjuring sebagai salah satu karakter. Tentu saja siap-siap jantung copot setelah tiba-tiba ada “Mbak Valak” yang muncul tepat dihadapan kita 😀

Nah, sistem kerja dari VR sebenarnya tidak dapat lepas dari beberapa elemen penting, seperti virtual world (sebuah konten yang menciptakan dunia virtual dalam bentuk screenplay) dan script Immersion (yang berfungsi untuk memberikan sebuah sensasi yang membawa pengguna teknologi VR merasakan ada di sebuah lingkungan nyata yang padahal fiktif).

Secara teoritis immersion dibagi dalam 3 jenis, yakni:

  1. Mental immersion, membuat mental penggunanya merasa seperti berada di dalam lingkungan nyata
  2. Physical immersion, membuat fisik penggunanya merasakan suasana di sekitar lingkungan yang diciptakan oleh virtual reality tersebut serta
  3. Mentally immersed, memberikan sensasi kepada penggunanya untuk larut dalam lingkungan yang dihasilkan virtual reality

Tentu saja dengan perkembangan teknologi digital, perangkat-perangkat virtual ini menjadi semakin mudah diakses. Beberapa produk juga telah menggabungkan antara pengalaman melihat (VR glasses), mendengar (headphone) dan merasakan (VR gloves) untuk meningkatkan realitas imajiner dalam game dan hiburan.

Menarik bukan? Let’s see how this trend goes 🙂

 

Analogi Pohon dalam Pariwisata Budaya

Beberapa waktu yang lalu ada seorang mahasiswa yang menyampaikan secara berapi-api ke saya bahwa pariwisata di Bali sudah membuat Bali di ambang kehancuran. Menurutnya dari artikel-artikel yang dia baca di media, sangat jelas bahwa pariwisata menghancurkan budaya, menghancurkan mental bahkan berpotensi menghancurkan jati diri “ke-Bali-an”orang Bali. Komentar  saya  sambil tersenyum “OK, kalau begitu bagaimana kalau kita bubarkan saja pariwisata? Stop saja turis datang ke Bali dan tutup semua hotel yang ada di Bali”. Jawabnya “Jangan bu, nanti kita makan dari mana tanpa pariwisata?”

Dialog singkat tersebut merupakan potret bagaimana pariwisata budaya Bali selalu dikecam namun disatu sisi dibutuhkan. Keterikatan Bali dengan pariwista bukan hanya sekedar “sayur tanpa garam” namun sudah menjadi “bread and breath of Bali”.

Dalam perspektif pariwisata dan budaya hampir selalu menjadi sebuah dikotomi, dua kutub magnet yang saling berlawanan. Saat pariwisata berkembang pesat, maka asumsinya saat itu juga akan terjadi degradasi budaya lokal. Menjawab ini saya sangat setuju dengan konsep Analogi Pohon atau tree analogy yang disampaikan oleh Pitana (2006),Picard (1996), Geriya (1991) dan McKean (1978). Konsep ini kemudian saya coba visualisasikan dan berikut penjabarannya.

TREE ANALOGY NEW.png

Dalam analogi pohon sebagai ekspansi dari konsep pariwisata budaya di Bali,  akarnya yang kuat  dari pohon tersebut adalah Agama Hindu. Batangnya yang kokoh adalah budaya secara umum, baik berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible). Daunnya yang lebat dan indah adalah kesenian Bali baik yang berupa kesenian visual (visual arts) maupun kesenian atraksi (performing arts). Pariwisata adalah bunga dan buah yang dapat “dipanen” sehingga nantinya dapat diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakatnya.

Hasil dari pohon yang berupa bunga dan buah inilah yang dapat “dijual”, namun pendapatan yang dihasilkan dari penjualan tersebut harus diinvestasikan kembali ke pohon tersebut. Saat akar dan batang pohon tersebut kuat maka analoginya akan mampu menghasilkan daun yang sehat serta buah dan bunga yang manis.

Dengan mengaplikasikan analogi pohon maka antara agama, budaya, kesenian dan pariwisata tidak akan lagi menjadi sebuah dikotomi. Masing-masing bagian akan bersinergi untuk memperkuat satu sama lain, dan masyarakat Bali telah teruji untuk mampu menyeimbangkan pariwisata melalui analogi pohon.

SAS

What is ASEAN Economic Community?

After being questioned by some of my students, I am sharing a brief description about The ASEAN Economic Community, which is scheduled to start being a reality next year (2015).

The ASEAN Economic Community (AEC) shall be the goal of regional economic integration by 2015. AEC foresees the following key characteristics: (a) a single market and production base, (b) a highly competitive economic region, (c) a region of equitable economic development, and (d) a region fully integrated into the global economy.

The AEC areas of cooperation include human resources development and capacity building; recognition of professional qualifications; closer consultation on macroeconomic and financial policies; trade financing measures; enhanced infrastructure and communications connectivity; development of electronic transactions through e-ASEAN; integrating industries across the region to promote regional sourcing; and enhancing private sector involvement for the building of the AEC. In short, the AEC will transform ASEAN into a region with free movement of goods, services, investment, skilled labour, and free flow of capital.

Continue reading

Sustainable Tourism |12 Aims for Sustainable Tourism

From the  basic concept of sustainable tourism; it’s clear that sustainable tourism was designed not to stop tourism but to manage it in the interests of all three parties involved – the host habitats and communities, the tourists and the industry itself.  It seeks a balance between development and conservation.  It seeks to find the best form of tourism for an area taking into account its ecology and its culture.  It may mean limits to growth, or in some cases no growth at all. The precautionary principle is important here. Continue reading

Sustainable Tourism | Basic Concepts

Tourism is one of the world’s fastest growing industries and is a major source of income for many countries. Being a people-oriented industry, tourism also provides many jobs which have helped revitalise local economies.

However, like other forms of development, tourism can also cause its share of problems, such as social dislocation, loss of cultural heritage, economic dependence and ecological degradation. Learning about the impacts of tourism has led many people to seek more responsible holidays. These include various forms of alternative or sustainable tourism such as: ‘nature-based tourism’, ‘ecotourism’ and ‘cultural tourism’. Sustainable tourism is becoming so popular that some say that what we presently call ‘alternative’ will be the ‘mainstream’ in a decade.

So the question is; what is Sustainable Tourism? Continue reading

Marketing 3.0

Image

Leading companies now understand they must reach highly aware, technology savvy customers. Kotler, Kartajaya and Setiawan say that the ‘old rules’ of product-based and consumer-based marketing will fail to do this. Companies need instead, to focus on creating products, services and entire corporate cultures, which are customer value driven at a more multi-dimensional, fundamental level.

To give a general idea, the following are the main differences between the three concepts:

Marketing 1.0 – product-centric, or the marketing of the industrial age, when marketing was about selling factory outputs. Marketing was transaction orientated: how to make a sale.

Marketing 2.0 – consumer-based, where marketing is relationship orientated -how to keep customers coming back and buying more.

Marketing 3.0 – value driven marketing, the linkage of three building blocks

Continue reading